79 Tahun Kemerdekaan Kita: “Antara Angkat Senjata atau Diplomasi Kata?”

Bambu runcing selalu jadi senjata yang jadi bentuk perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme dan segala bentuk penjajahan.

Meski belakangan banyak yang menyangsingkan bambu runcing adalah alat perang zaman dulu, setidaknya senjata ini sudah jadi simbol perlawanan meski kadang tidak ditemukan awal juntrungannya.

Ratusan tahun di bawah kedudukan negara-negara eropa, tiga tahun dikangkangi saudara se-Asia. Rakyat Indonesia akhirnya dapat bebas memekikan teriakan merdeka pada 17 Agustus 1945. Tentu ada banyak drama yang terjadi sampai akhirnya kita sampai di 17 Agustus 79 tahun lalu.

Baca juga: Napak Tilas Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Indonesia Hamparan Medan Perang

Perjuangan Indonesia selau dikaitkan dengan pertempuran. Seolah setiap waktunya masyarakat Indonesia melawan panjajah di medan-medan peperangan. Jawabannya enggak sepenuhnya salah. Dalam rentetan peristiwa menuju dan pasca kemerdekaan.

Rakyat Indonesia memang melawan di palagan. Kita mungkin ingat peristiwa perang Ambarawa, perang 5 hari di Semarang juga peristiwa Bandung lautan api.

Semua menunjukan kalau rakyat kita mengubah emosi yang tertahan di kepala menjadi peperangan yang menumpahkan darah dan merenggut nyawa.

Jauh sebelum perang-perang yang tadi disebutkan, Indonesia juga melawan ketika negara ini masih menjadi pecahan kerajaan.

Baca juga: Mencari Jalan Tengah untuk Sampah Merah Putih

Sultan Agung Mataram misalnya, menyerbu Batavia pada tahun 1628 dan dikenal dengan penyerbuan Batavia.

Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar secara heroik berjuang bersama masyarakat Aceh untuk mempertahankan tanah yang mereka tempati.

Kerajaan Kelungkung di Bali, mereka tidak kenal takut menghadapi tentara-tentara berkulit putih dan berbahasa asing. Sampai titik darah penghabisan mereka lawan.

Pangeran Diponegoro, berani menantang Belanda dan membuat perang terjadi, perang yang memakan waktu cukup lama dari tahun 1825 hingga 1830.

Ini belum seberapa ada juga perlawanan lain yang diingat maupun tidak diingat sejarah yang menyatakan kalau Indonesia sepenuhnya melawan.

Bahkan ketika Indonesia sudah Merdeka, kita mengenal peperangan 10 November yang jadi cikal bakal hari pahlawan. Bung Tomo dan KH Hasyim Ashari adalah dua nama yang begitu diingat dalam peperangan tersebut.

Lahirnya Bibit Cendekia

Meski melewati perang demi perang, meski banyak nyawa melayang Indonesia tetap tidak Merdeka. Perlawanan heroik dan kemenangan tidak membuat Belanda pulang.

Mereka tetap membuat muslihat supaya Hindia Belanda tetap jadi wilayah kekuasaannya. Indonesia dan rempah-rempahnya terlalu seksi untuk ditinggalkan, terlalu menguntungkan untuk tidak terus menerus dikeruk kekayaannya.

Hingga akhirnya lahirlah para cendekiawan. Haji Oemar Said Tjokroaminoto dengan segala ketegasannya. Memiliki beberapa murid yang ngekos di rumahnyha seperti Alimin, Tan Malaka sampai Ir. Soekarno.

Di sebuah kampus, Sutomo baru saja ditatar oleh Wahidin Sudirohusodo yang membuka mata dia kalau kemerdekaan tidak akan tercipta tanpa adanya persatuan.

Baca juga: Makna Merayakan Kemerdekaan Bagi Gen Z

Ia kemudian menginisiasi perkumpulan pemuda se-nusantara dan akhirnya membuat kita mengenal peristiwa Sumpah Pemuda.

Muhammad Tabrani, pemuda asal Madura itu memberi interupsi dalam diskusi Sumpah Pemuda yang tadinya hendak mengesahkan bahasa melayu sebagai bahasa resmi.

Ia mengusulkan jika bahasa resmi yang semestinya dipakai adalah Bahasa Indonesia. Hal itu disetujui dan kini kita terajut dalam sebuah bahasa yang melintasi Aceh hingga Papua. Kita dapat Bersatu karena kesamaan bahasa.

Ada juga Sjarhir, Sukarni, Hatta, Agus Salim dan banyak pemikir-pemikir lain yang bermunculan dari banyak daerah di Indonesia, mereka punya kesamaan visi menciptakan negara republik yang mandiri. Bukan negara yang disetir oleh kerajaan Belanda. Negara itu bernama Indonesia.

Merdeka Karena Berani Diplomasi

Singkat cerita Belanda pulang, tim sekutu terdesak dan jajahannya seperti Indonesia diambil alih Jepang. Mimpi kemerdekaan yang dulu suram kini terlihat terang benderang.

Meski harus melewati drama akhirnya 17 Agustus 1945 secara takdir menjadi tanggal resmi Indonesia lahir. Tidak ada lagi penjajahan, tidak ada lagi negara lain yang mengatur. Indonesia hidup dan berdikari.

Sempat ada pemberontakan dan agresi militer namun semua kemarahan Belanda reda di atas meja. Kalah dalam sebuah diplomasi kata yang dilakukan oleh pihak Indonesia.

Butuh waktu beberapa tahun tapi akhirnya Indonesia benar-benar mandiri. Seperti seekor burung yang baru menetas, tertatih lalu kemudian terbang dengan sendirinya.

Hal ini tentu menunjukan jika Indonesia Merdeka tidak semata karena angkat senjata, tidak semata karena lemparan dan tancapan bambu runcing yang menembus dada tentara Belanda, tapi juga andil orang-orang pintar yang mau duduk berdiskusi bersama dan menurunkan ego masing-masing untuk mewujudkan cita-cita bersama dengan mencetak sebuah negara kesatuan Republik Indonesia.

Kini kita sekali lagi memperingati segala bentuk perjuangan orang-orang terdahulu untuk mewujudkan Indonesia.

Baik mereka yang berjuang di medan pertempuran maupun mereka yang duduk berdiskusi dan berdiplomasi semua layak dihargai. Semua punya andil untuk melahirkan Indonesia.

Hanya saja setelah 79 tahun Indonesia merdeka, sepertinya cita-cita para pendiri sudah melenceng jauh dari apa yang hendak dicapai.

Hari ini DEMOS membahas soal 79 tahun Indonesia merdeka, lain hari mari kita bahas soal melencengnya cita-cita negara yang kini hilang oleh karena hausnya kekuasaan para penguasa. 

Publikasi Serupa

One thought on “79 Tahun Kemerdekaan Kita: “Antara Angkat Senjata atau Diplomasi Kata?””

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *