Sembilan juta penonton bukanlah jumlah yang sedikit, Sembilan juta lebih penonton cukup untuk membuat Film Agak Laen duduk di posisi ke dua film paling laris sepanjang masa di Indonesia. Perolehan jumlah penontonnya hanya kalah dari Film KKN di Desa Penari yang tayang dua kali pada April dan Desember 2022.
Resep dari film ini sederhana, Agak Laen hanya menampilkan komedi yang dekat dengan masyarakat kita. Lengkap dengan keresahan yang hadir dan dirasakan oleh orang-orang yang mungkin kita kenal.
Agak Laen berkisah tentang pria bernama Oki yang baru keluar dari penjara dan kesulitan mendapat kerja. Ia sudah bergabung dengan beberapa grup wahana di pasar malam namun tidak bertahan lama.
Oki akhirnya memutuskan bergabung bersama Indra, Boris dan Bene yang tergabung dalam tim wahana rumah hantu. Sayangnya rumah hantu mereka menuju kebangkrutan.
Oki merasa terdesak dan membutuhkan banyak uang karena ibunya harus terus berobat. Sementara tiga teman Oki dalam tim wahana rumah hantu juga terdesak dalam kondisi yang sama. Mereka bergerak dan membangun ulang wahana rumah hantu karena sebuah tujuan. Uang!
Sepanjang 119 menit film ini diputar, komedinya berasa begitu tebal, semakin terasa lucu karena objek tertawaanya dekat dengan keresahan masyarakat hari ini.
Lapisan kritis dalam empat karakter utama Film Agak Laen
Semua orang terpukau dengan akting Oki Rengga, Muhadkly Acho si sutradara menempatkan dia sebagai lakon utama sekaligus nahkoda cerita, hebatnya sebagai debutan pemeran utama, Oki mampu mengembanya dengan cukup baik. Ia berhasil membuat penonton tertawa dan menangis sepanjang film khususnya pada babak terakhir.
Karakter Oki memanglah karakter yang paling terdesak dalam Film Agak Laen. Dia adalah mantan narapidana yang susah mendapat pekerjaan. Persis seperti lebih dari 260 ribu narapidana (sumber goodstats.id) dari sejumlah kasus yang mendekam di penjara saat ini. Sebagian dari mereka adalah orang kecil yang dibui karena alasan-alasan kepepet masalah ekonomi. Karakter Oki dalam film ini menduplikasikan wujud tersebut. Orang miskin yang kepepet dan hendak bertaubat setelah keluar dari penjara. Sayangnya stigma negatif mantan napi melekat dan membuat dia sulit mendapat tempat.
Orang-orang seperti ini termajinalkan, masa depannya seperti berhenti tanpa tahu apa yang harus bisa dilakukan. Sebagian dari mereka kembali berbuat dosa dan akhirnya pulang lagi ke penjara, sebagain lain berjibaku dengan ekspektasi orang lain untuk bisa dianggap telah bertaubat sepenuhnya.
Berkaca pada tulisannya Jalaludin Rahmat dalam buku Psikologi Komunikasinya, karakter Oki berjibaku pada konsep diri secara afektif. Pandangan orang tentang dirinya membuat Oki merasa dijauhkan dari lingkungan dan kehilangan percaya diri. Untungnya ia punya tiga teman yang walaupun awalnya menjauh, mereka tetap mau merangkul Oki.
Karakter Oki juga punys beban berat lantaran ibundanya yang paling ia kasihi sedang sakit sementara dia tidak punya uang yang cukup untuk berobat. Masalah yang begitu familiar bagi kalangan menegah ke bawah di Indonesia bukan? Faktanya orang-orang miskin dan orang-orang kelas menengah memang kesulitan untuk berobat. BPJS yang jadi jalan tengah masih belum 100% mengatasi kesulitan berobat rakyat kalangan bawah. Mama Oki dalam film ini jadi representasinya.
Bahkan untuk membuat representasi ini semakin terasa dekat dengan penonton, Muhadkly Acho tahu betul bagaimana memotret kondisi orang miskin yang sedang sakit. Set lokasi rumah mama oki benar-benar dekat dengan kalangan kelas bawah jika sedang dirawat di rumah. Tidur di ruang keluarga beralas kasur tipis, menggunakan mantel yang harganya murah serta ditemani termos air panas yang selalu tersedia di sampingnya. Selalu begitu mode orang kelas menengah ke bawah di Indonesia jika sedang sakit.
Berbeda dengan Oki Rengga, portofolio Indra Jegel dalam kancah perfilman jauh lebih panjang. Beberapa film seperti Ngeri-Ngeri Sedap, Miracle in Cell No.7 sampai My Stupid Boss 2 menggunakan jasanya. Meski karakternya tidak semenonjol Oki, Indra Jegel mewakili golongan orang menengah ke bawah yang terlilit hutang karena ketagihan judi online.
Karakter Indra dalam film ini memang kocak tapi sebenarnya karakternnya sedang menyiratkan kegetiran orang-orang di luar studio bioskop yang setiap hari keranjingan main judi. Masalah judi online bukan lagi masalah sederhana, perkara ini sudah membuat banyak orang bangkrut sampai kehilangan nyawa. Pecandu judi biasanya diiming-imingi dengan kemenangan besar sebelum akhirnya dihabisi dengan kekalahan telak yang merusak mental.
Karakter Indra Jegel benar mewakili banyak orang. Menurut PPATK dalam rilis di websitenya, saat ini ada empat juta pengguna judi online di seluruh Indonesia. Angka yang cukup besar, bahkan angka empat juta sudah melebihi jumlah penduduk Provinsi Yogyakarta. Pemainnya mulai dari orang miskin sampai orang yang punya kuasa. Di kota atau pun di desa. Semua terbekap gula-gula keuntungan sebelum datang kemelaratan. Pada akhirnya mereka akan bermuara dalam dua kubangan. Pinjaman online atau liang lahat.
Lewat komedi yang menggelitik, karkater Indra yang terus menerus diteror oleh debt collector coba menunjukan bahwa banyak orang hari ini tidak bisa tidur nyenyak lantaran terdesak hutang yang mengikat.
Selain karakter Indra yang tercekik hutang judi, karkater Boris juga tidak kalah nelangsannya. Demi mewujudkan keinginannya , ia rela melakukan apa saja termasuk dibohongi orang lain. Apa yang dilakukan boris? Menyuap. Soal suap-suapan memang bukan barang baru di negeri ini. Semua hal bisa jadi mudah lewat orang dalam. Maharnya bermacam-macam dari yang recehan hingga miliaran rupiah. Karakter Boris menyuap sekaligus ditipu oleh orang yang ia percaya. Ia dijanjikan dapat masuk tentara dengan mengeluarkan uang jutaan.
Masalah ini adalah masalah yang terjadi hari ini. Ada banyak orang ingin menjadi aparat lewat jalan yang tidak sehat. Pada akhirnya banyak sekali yang tertipu karena praktik tersebut. Tapi bicara soal suap dan calo, tidakkah ini juga terjadi di sekitar kita?
Potret ini tergambar nyata, bahkan kita bisa jadi salah satu pelakunya karena malas membuang waktu lama untuk mengurusi urusan yang birokrasinya berlapis-lapis. Boris melakukan itu atas dorongan rasionalitas instrumental yang menurut Maximilian Webber, rasionalitas instrumental terjadi karena dorongan pelaku untuk menggapai tujuan dengan instan meski secara sadar ia tahu yang dilakukan salah.
Hanya saja dalam kasus Boris, ia lakukan itu untuk membuat ibunya senang, walau sampai film selesai yang ia dapat adalah penipuan dan kenestapaan. Boris hanyalah sebuah peran, tapi ia mewakili banyak orang, mungkin juga mewakili kamu dalam beberapa situasi terdesak di hadapan rumitnya birokrasi.
Karakter Bene dalam Film Agak Laen punya masalah yang lebih sederhana, perkara cinta lantaran ongkos menikah yang mahal bagi sebagian orang. Cinta mati dengan sang kekasih membuat Bene mau melakukan apa saja, karakter ini seolah memotret banyak laki-laki yang bersedia memaksa diri demi mewujudkan cita-cita menikahi perempuan yang dia kasihi.
Tapi meski terdengar sederhana, potret menikah dengan mewah sudah jadi kebiasaan turun temurun yang membuat generasi hari ini engap untuk mewujudkannya. Mengeluarkan banyak uang hanya untuk pesta sehari semalam. Jika tidak dilaksanakan, komentar miring dari keluarga dan tetangga akan jadi mimpi buruk yang terus terbayang. Ini juga potret sosial yang terjadi di masyarakat, berlomba terlihat bisa padahal kocek tidak seberapa.
Bagaimana, menyedihkan ya? Sederet cerita getir itu dibungkus dalam sebuah film komedi paling berhasil sepanjang sejarah Indonesia. Lewat dialog sederhana, laugh per minute-nya terasa begitu rapat yang mengartikan jika setiap adegan seolah menjanjikan tawa bagi penonton.
Empat karakter utama di atas seolah mewakili banyak orang disekitar kita, bahkan mungkin kita bisa melihat diri sendiri pada sosok Oki, Jegel, Boris dan Bene.
Merandai film komedi Indonesia lewat lawakan Agak Laen
Kita mesti mundur satu langkah untuk melihat betapa besarnya Film Agak Laen. Tidak hanya soal setnya yang memang besar dan niat karena mereka membangun pasar malam sungguhan khusus untuk membentangkan proses kreatif supaya bisa maksimal berkarya, tapi juga soal besarnya konsep cerita yang murni.
Cerita Agak Laen adalah cerita yang sengaja dibuat untuk film. Empat karakternya dihadirkan untuk bahu membahu menghadirkan cerita yang solid, komedi yang tepat sasaran dan drama yang menggugah selera. Tiga hal itu saling menguatkan dan membuat penonton puas dengan filmnya, memang ada yang melabelinya sebagai film jelek, tapi trend besarnya justru menunjukan perspektif positif dari karya ke tiga film produksi Imajinari ini.
Cerita yang dihadirkan memang solid, nyaris tanpa celah. Seperti yang sudah ditulis panjang lebar pada paragraf-paragraf awal, empat karakternya dibangun dengan latar belakang yang kuat dan tujuan yang tepat. Ditambah dengan premis cerita yang begitu segar, kombinasi ini membuat pengalaman baru menonton film komedi Indonesia.
Agak Laen yang berangkat dari sebuah siniar empat orang dari Sumatera Utara ini sepertinya akan menjadi tonggak trend baru di mana para kelompok siniar lain juga akan bergerak dan membangun film komedinya sendiri. Persis seperti yang dilakukan Warkop DKI puluhan tahun silam yang kemudian diikuti oleh grup lawak lain seperti Bagito.
Soal komedi, mereka adalah representasi soal lawakan hari ini. Semua hal yang berkaitan dengan komedi saat ini akan selalu beriringan dengan stand up comedy. Seni humor ini sedang merajai sektor lawak karena bisa kita temui di banyak acara. Obrolan tongkrongan dan celoteh yang sederhana lebih bisa diterima masyarakat kita dewasa ini. Berutungnya, Agak Laen diisi oleh sebanyak-banyaknya komika. Dari peran utama sampai peran yang cuma lewat saja.
Agak Laen sedang mengajak penonton Indonesia untuk melongok tipe film komedi zaman dulu, sekaligus menyaksikan pertunjukan lawakan khas masa kini sembari memberi kode bahwa masa depan film komedi Indonesia punya potensi besar. Sebelum Agak Laen diputar, film horor terus diproduksi karena para pemilik rumah produksi percaya film horor adalah cara mudah mendatangkan banyak penonton. Kini, Agak Laen mematahkan stigma itu, dan kalau boleh menyampaikan fakta, Agak Laen jadi film original dengan jumlah penonton tertinggi. Bahkan dari sepuluh besar film Indonesia paling laris sepanjang masa, hanya ada dua film yang berangkat dari cerita original. Bukan dari novel, bukan dari remake film sebelumnya atau bukan dari cerita viral di internet. Melihat hal tersebut, bukankah ini angin segar bagi perfilman Indonesia yang belakangan monoton dengan film horor yang formulanya itu-itu saja?
Kombinasi Muhadkly Acho di bangku sutradara diimbangi pengalaman Ernest Prakasa di balik meja produksi menghasilkan sinergi film yang tidak hanya bagus secara cerita, menguntungkan secara bisnis tapi juga menerapkan estetika perfilman yang patut diapresiasi. Pengambalian gambar yang tepat, pewarnaan yang baik serta scoring yang tidak berlebihan menjadikan film ini tidak memiliki kekurangan yang menonjol dari segi desain produksi.
Tapi lelucon juga harus punya rem
Hanya saja Agak Laen bukannya tanpa celah, film ini juga dapat kritik habis-habisan oleh banyak warganet lantaran memperkenalkan peran Obet dengan cara yang kurang tepat. Obet adalah karakter tunawicara yang diperankan oleh Sadana Agung. Karakter dia jadi salah satu karakter penting karena mengetahui rahasia besar yang jadi inti cerita film ini. Hanya karena dia bisu, semuanya jadi tidak bisa diungkapkan. Karakter ini kadang jadi lelucon di banyak adegan.
Muhadkly Acho mungkin ingin menunjukan bahwa disekitar kita orang bisu yang seperti Obet kerap jadi bahan becandaan. Jadi bahan lelucon karena ketidak mampuannya berbicara. Suka tidak suka, potret itu ada di masyarakat. Sayangnya, hal seperti itu mungkin tidak perlu dimunculkan. Menjadikan lelucon tentang orang tuna wicara di layar lebar dengan skup penonton yang besar serasa menjadikan perilaku ableisme dibenarkan.
Kritik ini harus diterima dan jadi modul pembelajaran gratis untuk Acho dan Ernest untuk membuat karya yang lebih sempurna. Modul ini gratis, tanpa bayaran hanya perlu menahan diri dan melatih kesabaran untuk membaca ketikan penuh duri dari para warganet.
Menertawakan keresahan negeri sendiri
Pada akhirnya Film Agak Laen membungkus realita di sekitar kita saat ini lewat sindiran dan dialog yang kata anak zaman sekarang terkesan meta. Bisa jadi, penulisnya tidak hendak menyindir siapa-siapa. Ia hanya ingin berkarya lewat sesuatu yang ia lihat dan rasakan disekitarnya.
Tapi begitulah sebuah karya yang tulus, hadir dari sebuah keresahan yang akhirnya dapat dirasakan oleh banyak orang karena terasa deka dan lekat. Hingga tanpa sadar, menonton Film Agak Laen sepanjang 119 menit, seperti sedang menertawakan keresahan negeri sendiri yang tidak jauh dari ketimpangan dan kesulitan masyarakatnya mengubah jalan hidup. Kita belum bisa mengubah, kita belum bisa melawan tapi dengan menonton Agak Laen setidaknya kita dapat mengerti, sadar dan menertawakannya.
Penulis: Muhamad Wildan ditulis pada 27 Agustus 2024 dan diterbitkan pada 31 Agustus 2024
Baca juga : 79 Tahun Kemerdekaan Kita: “Antara Angkat Senjata atau Diplomasi Kata?”