Kembali rakyat Indonesia akan bersorak sorai menyambut hari paling bersejarah bagi bangsa ini. Hari dimana rakyat Indonesia dapat menentukan nasibnya sendiri tanpa terkungkung dalam penindasan oleh bangsa lain.
Benar, besok adalah tanggal 17 Agustus, hari dimana Indonesia merdeka, terbebas dari belenggu penjajahan bangsa kolonial dan Jepang.
Dalam menggapai pintu gerbang kemerdekaan, tidaklah didapatkan dengan mudah dan tanpa pengorbanan, terlebih, Indonesia merdeka dengan cara merebut, bukan meminta dan diberi.
Kita adalah bangsa yang cerdas dan berani, bangsa yang melawan dan merebut hak kebebasannya dengan berbagai kisah perjuangan.
Namun dari setiap peristiwa perlawanan tentu saja dibaliknya ada sebuah tempat atau lokasi berlangsungnya peristiwa-peristiwa heroik dan masyur tersebut.
Baca juga: Demos Watch 1: 79 Tahun Kemerdekaan Kita
Contohnya, gedung Museum Kebangkitan Nasional, merupakan gedung sekolah Pendidikan Dokter Bumi Putera, atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).
STOVIA beroperasi pada tahun 1902, di situlah tempat dimana para kaum intelektual muda bangsa pada masa itu mulai merumuskan kemerdekaan dengan membentuk organisasi-organisasi kepemudaan.
Seperti Boedi Oetomo, Tri Koro Dharmo yang merupakan cikal bakal dari Jong Java, dan organisasi lainnya yang bertujuan untuk mempersatukan dan memerdekakan rakyat.
Di antara banyaknya tempat yang mengandung nilai sejarah perjuangan kemerdekaan kita, ternyata di daerah Cirebon dan sekitarnya juga tedapat tempat-tempat seperti itu.
Berikut Demos Magz sajikan dalam penerbitan khusus ini tentang tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah perjuangan bangsa kita dalam merebut kemerdekaan di daerah Cirebon dan sekitarnya:
Tugu Pensil Kota Cirebon
Tugu Pensil atau Tugu Proklamasi yang terletak di persimpangan Jalan Siliwangi dan Jalan Veteran, memiliki nilai sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut Kemerdekaan.
Bukan tanpa alasan mengapa tugu ini diberi nama seperti itu, tugu yang mirip pensil tersebut ternyata menjadi titik berlangsungnya proklamasi kemerdekaan di Kota Cirebon.
Bukanlah sebuah karangan atau glorifikasi pada Kota Cirebon yang merupakan kota wali, tapi memang betul adanya, bahwa proklamasi pernah dikumandangkan di Kota pesisir utara pulau jawa tersebut.
Lebih tepatnya, proklamasi kemerdekaan Indonesia pertama kali dibacakan di sini, begitulah banyak literatur menyatakan bahwa Cirebon merdeka lebih dulu, yaitu pada 15 Agustus 1945.
Lebih awal dua hari dari proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan Bung Karno di Menteng, Cikini, Jakarta Pusat pada 17 Agustus 1945.
Baca juga: Mencari Jalan Tengah untuk Sampah Merah Putih
Proklamasi tersebut dilakukan oleh para pengikut Sutan Sjahrir dan para kader Partai Nasional Indonesia Pendidikan atau PNI Baru, serta masyarakat sekitar dengan jumlah 100-150 orang.
“Memang waktu itu terjadi pergolakan-pergolakan untuk memproklamasikan bangsa Indonesia. Kemudian muncul dari kelompok Sjahrir yang mendelegasikan Sudarsono untuk membacakan naskah proklamasi di Alun-alun Cirebon, sekarang jadi Alun-alun Kejaksaan,” ungkap sejarawan dan budayawan Cirebon, Nurdin M Noer seperti dikutip Demos Magz, 15 Agustus 2019.
Proklamasi kemerdekaan tersebut secara spontan dibacakan oleh dr. Soedarsono atas perintah dari Sutan Sjahrir melalui telegram.
“Pembacaan teks proklamasi di Tugu Kejaksan itu dilakukan spontan,” kata pemerhati sejarah dan budaya Cirebon Jajat Sudrajat, dikutip Demos Magz pada 16 Agustus 2023.
Sebelumnya Sjahrir telah mendengar kekalahan Nipon (Jepang) pada sekutu pada 14 Agustus 1945 melalui siaran Radio BBC secara sembunyi-sembunyi.
Saat itu juga secara spontan, dia menginstruksikan kepada para jaringannya di Cirebon untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Bukit Maneungteung
Ternyata Cirebon tidak memiliki satu sejarah dalam proses perjuangan merebuut kemerdekaan, kisah ini datang dari hamparan Cirebon bagian timur, tempat di mana banyak sekali kisah-kisah perlawanan para kaum santri dalam mengusir penjajah.
Bukit Maneungteung populer disebut dengan bukit Ajimut, sebuah objek wisata yang biasa dimanfaatkan masyarkat sekitar untuk menikmati waktu luang seperti melihat pemandangan, bertamasya bersama keluarga, sampai merenungi nasib.
Akan tetapi sangat disayangkan, bukit tersebut hanya dianggap sebagai tempat wisata, bukannya monumen yang dapat dibanggakan sebagai bukti keberanian dan kekuatan masayarakat Maneungteng dalam mengusir penjajah.
Lokasinya terletak di Kecamatan Waled Kabupaten Cirebon, tidak banyak informasi mengenai sejarah detail tentang pertempuran yang terjadi di tempat ini.
Baca juga: Makna Merayakan Kemerdekaan Bagi Gen Z
Di atas bukit hanya terdapat monumen berupa patung yang disebut “Patung Perjuangan Rakyat Maneungteung”, dan tentu saja terlihat usang, tidak terurus dan penuh coretan vandal.
Menurut Mustopa seorang Dosen STID Al-Biruni Cirebon, bukit Maneungteung dijadikan sebagai benteng keamanan masyarakat saat peristiwa Agresi Militer I pada tahun 1947.
Pada masa itu, Belanda bersama sekutu menyerbu Waled dengan berbagai perlengkapan militer berat seperti meriam dan kendaraan lapis baja.
Bukit Maneungteung juga diperebutkan pihak Netherlands Indies Civil Administration (NICA) karena dinilai strategis untuk dijadikan benteng pertahanan.
Pertempuran tempuran terjadi di bukit tersebut selama dua malam atau masyarakat sipil dan NICA, namun perlawanan itu menjadi perlawanan yang cukup merepotkan bagi Belanda.
Bukan hanya itu, perlawanan juga dilakukan oleh TNI Bataliyon I yang dipimpin oleh Mayor Ribut yang bermarkas di Sindang Laut dan Kompi Kusumanegara pimpinan Mustofa Sudirja serta para laskar pejuang Kecamatan Waled turut menggempur pasukan Belanda yang ingin memasuki wilayah Kuningan.
“Perlawanan tersebut dilakukan disepanjang bukit Maneungteung dan tepian barat sungai Cisanggarung dengan melakukan barikade terhadap rute Ciledug, Cidahu, Kuningan dengan timbunan pepohonan yang ditebang” tulis Mustopa pada sebuah artikel pada 11 November 2021.
Akibat agresi tersebut, banyak masyarakat sipil menjadi korban dan mereka yang selamat mengungsi ke daerah Legok di Kabupaten Kuningan.
Akan tetapi, sejarah tersebut belum dapat dikonfirmasi karena masih disebarkan sebagai cerita rakyat saja.
Gedung Perundingan Linggarjati
Sebuah bangunan yang cukup megang masih berdiri kokoh di Desa Linggajati, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, adalah Gedung Perundingan Linggarjati, saksi bisu dari perjuangan founding father Indonesia pada masa pasca proklamasi.
Bangsa Kolonial seperti Belanda memang picik dan serakah, mereka masih tetap ingin menguasai daerah bekas jajahannya (Hindia Belanda) yang memang hasil buminya mampu membawa kemakmuran pada bangsa mereka.
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesaia, Belanda masih sangat enggan untuk mengakui kemerdekaan kita, mereka masih menganggap Indonesia adalah wilayah jajahan mereka yaitu Hindia Belanda.
Perundingan Linggarjati dilakukan pada 11-13 November 1946, perundingan ini adalah momen penting penentu nasib bangsa Indonesia. Dalam perundingan tersebut menjadi saksi perjuangan diplomatik yang dilakukan oleh para pendiri bangsa.
Diketuai oleh Sutan Syahrir, Soesanto, Tirtoprodjo, Mr. Mohammad Roem, dan Dr. A. K Gani delegasi Indonesia ini berunding dengan delegasi dari Belanda, yaitu Prof. Mr. Schrmerhorn, Dr. F. De Boer, Mr. Van Poll, Dr. Van Mook, dan diplomat Inggris Lord Killearn sebagai mediator.
Perundingan ini merupakan kelanjutan dari perundingan serupa yang dilakukan di Hooge-Valuwe Belanda yang tidak menemui kesepakatan (Deadlock).
Dalam perundingan Hooge-Valuwe, Belanda bersikukuh agar Indonesia menjadi negara bawahan atau persemakmuran mereka, sedangkan pihak Indonesia tetap teguh untuk berdaulat secara utuh.
Perjanjian Linggarjati menghasilkan tiga poin kesepakatan antara Indonesia dan Belanda, yang selanjutnya akan ditandangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka) di Jakarta.
1). Pengakuan Belanda secara De facto atas eksistensi Negara Republik Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madur.
2). Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia
3). Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Walaupun dinilai merugikan Indonesia karena wilayah negara kita hanya diakui meliputi Sumatera, Jawa dan Madura saja, akan tetapi perundingan Linggarjati membuat Indonesia mendapat pengakuan dari negara lain.
Melalui Perundingan Linggarjati ini menjadi alasan Inggris pada tanggal 31 Maret 1947 mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia yang disusul Amerika Serikat tanggal 23 April 1947, lalu Mesir pada tanggal 10 Juni 1947 juga mengakui RI secara de facto sekaligus de jure, dan selanjutnya oleh negara-negara timur tengah seperti Lebanon, Syiria, Irak, Afghanistan, Saudi Arabia, Yaman dan Burma.
Selain itu, terdapat batu hitam bertuliskan lima pilar utama bangsa Indonesia: petani, pemuka agama, wanita, tentara, dan pemuda yang saling bergandengan. Ini melambangkan kekuatan persatuan bangsa kita yang selalu mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi.
Goa Jepang Majalengka
Memang ada alasan tersendiri kenapa peran militer sangat kentara pada sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Banyak dari peristiwa perlawan bangsa kita merupakan perlawanan angkat senjata, walaupun jalur diplomasi juga sangat berperan aktif dalam menyongsong kemerdekaan kita tanpa korban jiwa.
Pasca perundingan Linggarjati, Belanda melancarkan Operatie Product pada tanggal 21 Juli 1947, yang lebih dikenal sebagai Agresi Militer I.
Selain Cirebon Timur dan Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka juga menjadi sasaran dari tindakan kontroversial dan melanggar kesepakan Internasional ini.
Latar belakang Agresi Militer I tentu saja ambisi pemerintah kolonial Belanda untuk merebut kembali kendali atas Indonesia, terutama di pulau Jawa dan Sumatera.
Tidak luput dari incaran Belanda, sejumlah tempat strategis di Majalengka secara masif diambil alih oleh mereka, termasuk markas besar tentara Belanda di Tonjong. Pengamanan juga dilakukan terhadap bunker, seperti Gua Jepang, yang menjadi pusat strategis.
Gua Jepang terletak di Kelurahan Tonjong, Kecamatan/Kabupaten Majalengka, tepatnya di samping Mabes Marsose Belanda atau saat ini Mako Kodim 0617/Majalengka.
Gua ini dibangun jaman penjajahan Belanda untuk mengintai warga Penyindangan, Cieurih, Maja yang memberontak pada Belanda, namun Mabes ini banyak difungsikan jaman penjajahan Jepang.
“Bunker ini dibangun jaman Belanda. Dan saat Jepang datang, diambil alih lah. Lalu dinamakan lah gua Jepang,” kata penikmat sejarah sekaligus Ketua Gruop Madjalengka Baheula (Grumala), Nana Rohmana (Naro), seperti dikutip dari detikjabar.
Lalu tahun 1942 Mabes Marsose diduduki Jepang. Oleh tentara Jepang bungker ini digunakan untuk pos pantau, ruang tahanan dan penyiksaan, dan ruang untuk mengatur strategi, sehingga sampai saat ini lebih dikenal dengan sebutan gua Jepang.
Gua jepang sendiri sebelumnya telah dikuasai oleh tentara republik pada tahun 1945, namun Belanda yang masih berambisi merebut kembali Jawa dan Sumatera berhasil menguasai Gua Japang dan markas besar yang kini dikenal sebagai Kodim 0617 Majalengka pada 24 Juli 1947.
Saat itu pertahanan Indonesia masih terbilang lemah dengan senjata seadanya dan kebanyakan didapat dari hasil rampasan sepeninggalan Jepang dan Belanda, karena itu masih mudah ditembus oleh serangan NICA yang membawa sekutu.
Karangampel, Indramayu
Saat itu perang dunia ke dua masih berkecamuk di pasifik, Nipon (Jepang) masih mencoba mempertahankan pengaruhnya di Asia Timur blok sekutu melawan sembari menghadapi gempuran dari blok sekutu.
Perang bukanlah kegiatan minim budget, Nipon mulai merasakan menipisnya persediaan minyak bumi yang mereka miliki untuk keperluan perang.
Mereka juga tertekan oleh pihak Amerika yang melarang ekspor minyak bumi ke Jepang. Kebutuhan sumber daya yang banyak itulah mendorong Jepang untuk melakukan ekspansi pada negara-negara di wilayah Asia Tenggara.
Tentu saja Indonesia menjadi Incaran mereka, bagi Nipon, Indonesia adalah lumbung sumber daya yang mampu menopang kebutuhan industri dan perang mereka.
Dimulai pada Agustus 1942, Jepang menerapkan peraturan tentang pemungutan bahan pangan secara sistematis dengan membentuk Shokuryo Konri Limusyo (SKL, Kantor Pengelolaan Pangan).
Kantor tersebur tidak dibuat untuk mensejahterakan bangsa Indonesia, melainkan menjadi badan yang memonopoli hasil pertanian rakyat di bawah kendali kekaisaran Jepang.
Awalnya SKL hanya meminta para petani untuk menyerahkan sejumlah padi mereka saja, akan tetapi timbul polemik lebih besar ketika Jepang meminta para petani untuk menyerahkan sebagian besar padi pada SKL.
Pada saat itu, para petani Indramayu diperintahkan untuk menyerahkan kuota per hektar yang luar biasa tingginya, biasanya mencapai 15 sampai 20 kuintal padi basah.
Tentu saja kebijakan tidak adil tersebut mendapat respon buruk dari para petani yang terancam kelangsungan hidupnya.
Kebijakan Jepang yang memaksa para petani untuk menyerahkan sebagian besar padi kepada SKL menimbulkan perlawanan seperti yang terjadi di daerah Indramayu, Jawa Barat.
Perlawanan mula-mula terjadi di Desa Kaplongan Karangampel, kemudian meluas ke Sindang dan Lohbener serta Desa Bugis.
Dengan senjata seadanya seperti bambu runcing dan golok, para petani memberontak Jepang dengan penuh amarah, mereka sudah bertekad lebih baik mati dalam pertempuran daripada mati kelaparan.
Selain melakukan perlawanan secara terbuka, para petani Indramayu juga melakukan kerusuhan-kerusuhan untuk mengacaukan Jepang, dan sabotase pada Mei 1944.
Selain itu, para petani di Indramayu juga melakukan perlawanan dengan menggunakan gerakan keagamaan.
Sebelum melakukan perlawanan terang-terangan atau terbuka mereka meminta air doa kepada seorang kiyai yang dipercayai dan dianggap ssakti, yang dapat membuat mereka kebal dari serangan orang jahat seperti pemerintah Jepang.
Namun sangat disayangkan, dari peristiwa tersebut tidak ada monumen atau penanda sebagai pengingat pernah ada perlawanan yang berani para petani di Karangampel, Indramayu.
Refleksi Kemerdekaan
Telah banyak jiwa raga yang berguguran memperjuangan kemerdekaan, telah banyak juga upaya yang ditempuh para pendiri bangsa membebaskan rakyat dari belenggu penjajah.
Peristiwa-peristiwa di atas yang tersimpan menjadi sebuah kisah pada suatu tempat, menjadi saksi bisu akan adanya perlawanan gigih merebut sebuah kehidupan yang bebas dan berdaulat.
Dari angkat senjata hingga diplomasi kata, keduanya punya peran penting atas kemerdekaan yang kita rasakan sampai hari ini.
Para founding father berjuang dengan cerdas, gagah, dan berani, untuk membebaskan rakyat dari ketertindasan bangsa lain, dari kebodohan, dan dari hidup yang terjajah.
Peristiwa-peristiwa perlawanan tersebut bukan hanya untuk dikenang dengan segala glorifikasi yang menggugah jiwa nasionalisme kit.
Akan tetapi perlu disadari bahwa, hasil dari semua perjuangan itu harus dipertahankan dan dijaga oleh para generasi bangsa.